Makalah Ulumul Qur'an, Amar dan Nahi Munkar
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Telah dijelaskan bahwa hukum syar’i itu adalah khitab (titah) Allah
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan
ketentuan. Khitab dalam tuntutan ada dua
bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan.
Setiap tuntutan mengandung taklif (beban hukum) atas pihak
yang dituntut, dalam hal ini adalah manusia mukallaf.
Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah atau “amar” (أمر). Sedangkan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan disebut larangan atau “nahi” (نهى). Pada pembahasan kali ini kita akan mempelajari amar dan nahi, mulai dari definisi atau pengertian, bentuk-bentuk, serta kaidah-kaidah yang berhubungan dengan amar dan nahi. Berikut makalah ini kami buat.
Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah atau “amar” (أمر). Sedangkan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan disebut larangan atau “nahi” (نهى). Pada pembahasan kali ini kita akan mempelajari amar dan nahi, mulai dari definisi atau pengertian, bentuk-bentuk, serta kaidah-kaidah yang berhubungan dengan amar dan nahi. Berikut makalah ini kami buat.
II.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang disebut sebagai amar dan
nahi?
2.
Bagaimana bentuk-bentuk amar dan
nahi?
3.
Bagaimana hubungan kaidah-kaidah
amar dan nahi?
III.
Tujuan
1.
Mengetahui apa yang disebut amar
dan nahi dalam usul fiqh
2.
Mengetahui bagaimana bentuk-bentuk
amar dan nahi.
3.
Mengetahui bagaimana kaidah-kaidah
yang berhubungan dengan amar dan nahi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. AMAR
I.
Pengertian Amar
Amar
menurut pengertian bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah adalah,
الأمر طلب الفعل من الأعلى إلى الأدنى
”amr
adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yng
lebih rendah tingkatannya.”atau dapat didefinisikan,
اللفظ الدال على طلب الفعل على جهة الإستعلاء
Suatu
tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
Sedangkan
menurut ibnu subki adalah:
هو اقتضاء فعل
غير كف مدلول عليه بغير نجو كف
Tuntutan untuk berbuat, bukan
meninggalkan yang tidak memakai latar (tinggalkanlah) atau yang sejenisnya.
Penggunaan
kata اقتضاء فعل dalam definisi
diatas, mengandung arti bahwa amar itu adalah tuntutan untuk berbuat dan
tuntutan ini menggunakan kata sewazan (setimbang) dengan فعل. Sedangkan kalimat lainnya dalam definisi
itu mengandung arti bahwa boleh saja amar itu dalam bentuk tuntutan
untuk meninggalkan sesuatu, asalkan lafadz yang digunakan untuk itu adalah
dalam bentuk fi’il amar, seperti, “diamlah” atau “tinggalkanlah” atau
“jauhilah” dan sebagainya yang sama artinya.[1]
II.
Bentuk-bentuk amar
Adapun perintah untuk melakukan
suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al
Tasyri’, disampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi antara lain:
a)
Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (أمر) QS . An-Nahl : (16) 90.
Artinya :“Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”
b)
Perintah dalam bentuk pemberitaan
bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba (كتب) Al-Baqarah (2) : 178 :
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita”.
c) Perintah dengan
menggunakan kata faradha (فرض/mewajibkan). Al-Ahzab : 50
Artinya : “Sesungguhnya
kami Telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang
isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi
kesempitanbagimu”[2]
Adapun makna
–makna lain dari shighoh amar antara lain sebagai berikut :
1.
Hukum Wajib
Artinya, lafadz amar itu menghendaki pihak yang disuruh wajib
melaksanakan apa yang tersebut dalam lafadz itu. Seperti firman Allah dalam
surat an-Nisa’ ayat 77:
أقيموا الصلاة وأتوا الزكاة
Amar didalam ayat ini menimbulkan hukum wajib meskipun tanpa qorinah
yang mengarahkannya untuk itu.
2. Hukum nadb atau sunnah
Artinya hukum yang timbul dari amar itu adalah nadb, bukan wajib. An-Nur:33:
فكاتبوهم ان علمتم فيهم خيرا
Maka
buatlah perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada
mereka.
Lafadz katabah yaitu kemerdekaan dengan pembayaran cicilan, yang disuruh dalam ayat tersebut menimbulkan hukum nadb, sehingga bagi
yang menganggap tidak perlu, maka tidak ada ancamannya apa-apa. Termasuk kedalam
hukum nadb itu adalah ta’dib (pendidikan)
seperti sabda Nabi kepada ibnu abbas dalam suatu kesempatan makan bersama,
“makanlah apa yang ada disekitarmu”.
3.
Untuk suruhan bersifat mendidik. Umpamanya firman Allah dalam surat al baqoroh:282, tentang apa yang sebaiknya dilakukan seseorang setelah
berlangsung hutang piutang:
واستشهدوا شهيدين
…..dan saksikanlah oleh
dua orang saksi
Dalam ayat ini
Allah SWT mendidik umat untuk mendatangkan dua saksi pada saat berlangsung
transaksi hutang piutang untuk kemaslahatan mereka.
4.
Imtinan (امتنان) atau merangsang keinginan. Umpamanya
firman Allah dalam surah al-An’am 142:
كلوا مما رزقكم الله
Makanlah apa-apa yang diberikan Allah kepadamu
Meskipun
imtinan ini sama dengan ibahah dari segi tidak mengadung tuntutan, namun
diantara keduanya ada perbedaan. Pada ibahah hanya semata izin untuk berbuat,
sedangkan pada imtinan ada qorinah berupa kebutuhan kita kepadanya dan ketidak
mampuan kita untuk mengerjakannya.
5. Untuk ikrom atau
memulyakan. Al-Hijr:46:
ادخلوا بسلام امنين
Masuklah kalian semua dengan selamat dan aman
Amar dalam ayat ini juga tidak mengandung tuntutan apa-apa terhadap yang
menerima amar.
6.
Untuk Takhsir, yang berarti menghinakan. Firman Allah al baqoroh
:65:
كونوا قردة خاسئين
Jadilah kalian, kera yang hina.
7.
Ta’jiz, yang berarti menyatakan ketidak mampuan seseorang. Firman Allah
dalam surat al-Baqoroh:23:
وان كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله
Jika kalian
meragukan ada yang diturunkan kepada hamba kami maka datangkanlah satu surat
yang menyamainya
8.
Untuk ihanah (الإهانة) artinya mengejek dalam sikap merendahkan.
Surat
al-Dukhan:49:
ذق إنك أنت
العزيز الكريم
Rasakanlah,
sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.
Dalam ayat ini
Allah SWT berkata kepada orang kafir yang masuk neraka. Tentu maksudnya bukan
menyuruh berbuat seperti apa yang dikatakan, tetapi hanya sekedar mengejek
orang kafir.
9.
Do’a. Contohnya, surat Ibrahim:41:
أللهم اغفرلي
ولوالدي
10. Tamanni (التمنى)
Yang berarti
mengangankan suatu yang tidak akan terjadi.
ألا أيها الليل
الطويل ألا انجلى بصبح وما الإصباح منك بأمثال
Wahai malam
yang panjag, kenapa kau tidak segera berganti dengan subuh, sekalipun subuh itu
tidak akan lebih baik darimu.
11. Ihtiqar (الإحتقار) menganggap enteng yang disuruh. Surat
al-Syu’ara:43:
القوا ما انتم
ملقون
Jatuhkanlah apa yang hendak kamu jatuhkan
Dalam ayat ini Allah mengisahkan Nabi Musa menyuruh tukang sihir Fir’aun
alat sihirnya yaitu tali lebih dahulu sebelum ia sendiri memulai. Jelas apa
yang disuruh Nabi Musa itu merupakan ucapan yang menganggap enteng para ahli
sihir itu, bukan dalam arti sebenarnya untuk menyuruh.
12. Takhyir (التخيير) artinya memberi pilihan. Sabda Nabi:
إذا لم تستح
فاصنع ما شئت
Bila kamu
tidak malu, berbuatlah sekehendak hatimu.[3]
13. Ibahah
(perkenan)
contoh : كلو ا من الطيبات (
المؤمنو51)
Artinya : “Makanlah
kalian dari makanan yang baik-baik“.( QS. Al- mu’minun : 51)
14. Taswiyah (menyamakan)
Contoh : فاصبروا أولا تصبرواسواء
عليكم ( الطور : 16)
Artinya : “baik kamu bersabar atau tidak bersaba , sama sja bagi kalian”.( QS.
Ath-Thur :16)
15. Tahdid (menakut-nakuti)
Contoh: اعملوا ما شئتم انه تعملون بصير (فصلت: 40 )
Artinya: “lakukan
apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang
kalian lakukan. ( Qs. Fushilat : 40 )
16. Takwin
(mewujudkan dengan sekejap) atau
menciptakan.
Contoh: انما
امره اذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون ( يس: 82)
Artinya: “Sesungguhnya,
urusan Allah tatkala menghendaki suatu hanyalah berfirman kepadanya : “
jadilah” ! maka jadilah sesatu tersebut.” (Qs. Yasin : 82)[4]
III.
Kaidah-kaidah amar
Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari
bentuk perintah, maka ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
a) Kaidah
pertama, الأصل قى الأمر للوجوب, meskipun suatu perintah bisa
menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjkkan
hukum wajib dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau dalil yang
memalingkannya.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang
memalingkan dari hukum wajib adalah ayat 77 surat an-Nisa: “اقيموا الصلاة واتواالزكاة”
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan
sholat lima waktu dan menunaikan zakat.
b) Kaidah
kedua,
دلالة الأمر على
التكرار أو الواحدة, adalah
suatu perintah, haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali
saja?
Menurut jumhur ulama ushul fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak
menunjukkan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Contohnya
ayat 196 surat al-Baqarah:
وَأَتِمُّوا
الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّه.......
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah Karena
Allah….
Perintah melakukan haji dalam ayat diatas sudah
terpenuhi satu kali haji dalam seumur hidup.
Adanya kemestian pengulangan ditunjukkan oleh dalil
lain. Al-Isra 78:
أَقِمِ
الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ
قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat
subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
Menurut sebagian ulama Ushul Fiqh, seperti Abu
Ishaq al-Syirazi (w. 476 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah seperti
dinukil Muhammad Adib Saleh, suatu perintah pada dasarnya menunjukkan berulang
kali dilakukan sepanjang hidup, kecuali ada dalil yang menunjukkan cukup
dilaukan satu kali.
c) Kaidah
ketiga, دلالة الأمر على الفور
أو التراخى, adalah
suatu perintah, dilakukan sesegera mungkin atau bisa ditunda-tunda. Pada dasarnya suatu
perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain
yang menunjukkan untuk itu. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama Ushul Fiqh.
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu Hasan al-Karkhi (w. 340 H) seperti
dinukil Muhammad Adib Salih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib
segera dilakukan. Barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu perintah di
awal waktunya, maka ia berdosa.[5]
B. NAHI
I.
Pengertian
Nahi
Pembicaraan ulama dalam pembahasan tentang amar yang menyangkut
hakikat, sikap dalam mengucapkan, dan kedudukan yang memberikannya, berlaku
pula dalam pembicaraan tentang “nahi”(larangan). Hal ini pun berpengaruh
dalam merumuskan definisi “nahi”tersebut.
1)
Ulama’ yang mensyaratkan kedudukan yang lebih
tinggi bagi yang menyuruh memberikan definisi sebagai berikut:
هو طلب الترك من الأعلى إلى الأدنى
Tuntutan untuk meninggalkan dari pihak yang
lebih tinggi kepada yang lebih rendah
2) Ulama’ yang mensyaratkan adanya sikap meninggi waktu menympaikan nahi itu
memberi definisi:
هو اقتضاء كف على وجه الإستعلاء
Tuntutan untuk meninggalkan dengan sikap
meninggi.
3)
Adapun definisi yang lebih lengkap ialah:
هو طلب الكف على وجه الإلزام بلفظ غير نحو كف
Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti tidak
menggunakan “tinggalkanlah”, atau yang sejenisnya.
Kata tuntutan meninggalkan طلب الكف menunjukkan bahwa nahi ituadalah
suruhan untuk meninggalkan suatu perbuatan atau suruhan untuk tidak berbuat
apa-apa.[6]
II.
Bentuk-bentuk nahi
Dalam
melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa, diantaranya adalah:
a)
Larangan tegas dengan memakai kata naha (نهى) atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang, seperti
suat An- Nahl Ayat : 90
Artinya: ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan”
Artinya:”Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
Artinya: “dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih”[7]
III.
Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi
Para ulama Ushul Fiqh merumuskan beberapa kaidah yang berkenaan dengan
larangan, antara lain:
a.
Kaidah Pertama:
Menurut Jumhur Pada dasarnya
kaidah itu menunjukan haram.
Seperti: ”Dan janganlah kamu mendekati zina” {QS.al-isra / 17:32}
b.
Kaidah Kedua
“larangan terhadap sesuatu berarti perintah
akan kebalikannya”.
Misalnya
pada kalimat ”janganlah kamu mempersekutukan Allah” Larangan mempersekutukan
Allah berarti perintah untuk mentauhidkan-Nya.
c. Kaidah
Ketiga
“pada
dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap
waktu”
Jadi
larangan yang tidak dikaitkan dengan suatu syarat atau sebab. Seperti waktu atau
sebab-sebab lain.maka berarti diharuskan meninggalkan yang dilarang itu
sepanjang masa.Namun bila larangan itu dikaitkan dengan waktu, maka perintah
larangan itu berlaku selama ada sebab.
Misalnya
pada kalimat” janganlah kamu shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk{ QS.
An-nisa / 4;43}”
d. Kaidah
keempat
“pada dasarnya larangan itu bermakna fasad
{rusak} secara mutlak”
Rasulullah saw bersabda ”setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”
Dengan demikian segala perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan, dan setiap yang tidak diprintahkan berarti tertolak, dan tertolak berarti batal. {tidak sah. Fasad}hukumnya.[8]
Rasulullah saw bersabda ”setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”
Dengan demikian segala perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan, dan setiap yang tidak diprintahkan berarti tertolak, dan tertolak berarti batal. {tidak sah. Fasad}hukumnya.[8]
IV.
Penunjukkan
atau Tuntutan Nahi
Nahi itu menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan kata yang
didahului oleh kata larangan, yaitu: لا تفعل
atau yang sewazan dengannya. Dalam A-Qur’an, nahi yang menggunakan kata larang
itu mengandung beberapa maksud:
a.
Untuk hukum
haram. Seperti firman Allah surat al-Isra’:33:
ولا تقتلوا
النفس التي حرم الله
Janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya).
b.
Makruh (كراهة). Sabda Nabi:
لا يمسن
احدكم ذكره بيمينه وهو يبول
Diantara
kamu sekalian jangan memegang kemaluannya dengan tangan kanan ketika buang air
kecil.
c.
Untuk
mendidik (إرشاد). Firman Allah surat
al-Maidah: 101:
لا تسئلوا
عن أشياء ان تبد لكم نسؤكم
Janganlah
kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan
kamu.
d. Untuk do’a. Firman Allah Ali ‘Imran:8:
ربنا لا تزغ
قلوبنا بعد اذ هديتنا
e. Tahqir (تحقير) merendahkan. Firman
Allah, surat al-Hijr: 88:
لا تمدن
عينيك إلى ما متعنا به أزواجا منهم
Janganlah kamu sekali-kalikamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan
hidup yang telah kami berikan kepada beberapa golongan diantara mereka
(orang-orang kafir).
f.
Untuk penjelasan akibat (بيان العاقبة). Surat Ibrahim:42:
ولا تحسبن
الله غافلاعما يعمل الظالمون
Janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa
yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim.
g.
Keputus-asaan (اليأس). Firman Allah surat
al-tahrim:7:
يا أيهاالذين امنوا لا تعتذروا اليوم
Hai
orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini.[9]
BAB III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa amar adalah perintah
untuk mengerjakan suatu pekerjaan dengan menggunakan shigat amar. Sedangkan
nahi adalah perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan menggunakan
shighat la taf’al atau yang sewazan dengannya.
Adapun
bentuk-bentuk amar dan nahi ada bermacam-macam diantaranya dengan menggunakan
kata amara, kutiba, faradha sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Sedangkan bentuk nahi adalah menggunakan kata “la taf’al” atau yang
sejenis dengannya.
Adapun
kaidah-kaidah yang berhubungan dengan amar dan nahi adalah sebagaimana
dijelaskan diatas. Selain itu shighat-shigat amar dan nahi terkadang memiliki
makna yang berbeda dari yang sebenarnya tergantung qarinah yang menyertainya.
Demikian
makalah kecil ini kami susun, semoga memberikan manfaat bagi para penyusun,
pembaca, dan pendengar. Amin.
II.
Daftar pustaka
Syarifuddin, Amir, usul fiqh jilid 2, cet.4,
(Jakarta, PRENADA MEDIA GROUP, 2008)
M.Kholil Afandi, Nailul Huda , Dari Teori Ushul Menuju Fiqih,
Santri Salaf press, Januari 2013
http://hukum.kompasiana.com/2012/07/03/ushul-fiqh-amr-dan-nahi-474285.html.
Di akses pada hari sabtu tanggal 22 juni 2013. Pukul 09.30 WIB
http://bayanzhou.blogspot.com/2011/02/amr-nahi-takhyir-am-dan-khos.html,
di akses pada hari sabtu tanggal 22 juni 2013, pukul 09.30 WIB
[1]Amir
Syarifuddin, usul fiqh jilid 2, cet.4, (Jakarta, PRENADA MEDIA GROUP,
2008), HAL. 163-164
[2]http://hukum.kompasiana.com/2012/07/03/ushul-fiqh-amr-dan-nahi-474285.html. Di akses pada hari sabtu tanggal 22 juni 2013. Pukul 09.30 WIB
[3]
Amir Syarifuddin, usul fiqh jilid
2, cet.4, (Jakarta, PRENADA MEDIA GROUP, 2008), hal. 166-171
[4]M.Kholil Afandi, Nailul Huda , Dari
Teori Ushul Menuju Fiqih, Santri Salaf press, Januari 2013
[7] http://bayanzhou.blogspot.com/2011/02/amr-nahi-takhyir-am-dan-khos.html,
di akses pada hari sabtu tanggal 22 juni 2013, pukul 09.30 WIB
[8]
http://hukum.kompasiana.com/2012/07/03/ushul-fiqh-amr-dan-nahi-474285.html
Comments
Post a Comment