Makalah Ulumul Qur'an, Amar dan Nahi Munkar



BAB I
PENDAHULUAN
       I.            Latar Belakang
Telah dijelaskan bahwa hukum syar’i itu adalah khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan. Khitab dalam tuntutan ada dua bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan. Setiap tuntutan mengandung taklif (beban hukum) atas pihak yang dituntut, dalam hal ini adalah manusia mukallaf.
Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan disebut perintah atau “amar” (أمر). Sedangkan tuntutan yang mengandung beban hukum untuk ditinggalkan disebut larangan atau “nahi” (نهى). Pada pembahasan kali ini kita akan mempelajari amar dan nahi, mulai dari definisi atau pengertian, bentuk-bentuk, serta kaidah-kaidah yang berhubungan dengan amar dan nahi. Berikut makalah ini kami buat.

    II.            Rumusan Masalah
1.      Apa yang disebut sebagai amar dan nahi?
2.      Bagaimana bentuk-bentuk amar dan nahi?
3.      Bagaimana hubungan kaidah-kaidah amar dan nahi?
 III.            Tujuan
1.      Mengetahui apa yang disebut amar dan nahi dalam usul fiqh
2.      Mengetahui bagaimana bentuk-bentuk amar dan nahi.
3.      Mengetahui bagaimana kaidah-kaidah yang berhubungan dengan amar dan nahi.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  AMAR
       I.            Pengertian Amar
Amar  menurut pengertian bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah adalah,
الأمر طلب الفعل من الأعلى إلى الأدنى
”amr adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yng lebih rendah tingkatannya.”atau dapat didefinisikan,
اللفظ الدال على طلب الفعل على جهة الإستعلاء
Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
Sedangkan menurut ibnu subki adalah:
هو اقتضاء فعل غير كف مدلول عليه بغير نجو كف
Tuntutan untuk berbuat, bukan meninggalkan yang tidak memakai latar (tinggalkanlah) atau yang sejenisnya.
Penggunaan kata اقتضاء فعل dalam definisi diatas, mengandung arti bahwa amar itu adalah tuntutan untuk berbuat dan tuntutan ini menggunakan kata sewazan (setimbang) dengan فعل. Sedangkan kalimat lainnya dalam definisi itu mengandung arti bahwa boleh saja amar itu dalam bentuk tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, asalkan lafadz yang digunakan untuk itu adalah dalam bentuk fi’il amar, seperti, “diamlah” atau “tinggalkanlah” atau “jauhilah” dan sebagainya yang sama artinya.[1]
    II.            Bentuk-bentuk amar
Adapun perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al Tasyri’, disampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi antara lain:
a)       Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (أمر) QS . An-Nahl : (16) 90.
.Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj44pFX2MJofrQDDn2FPTcPnQD0qK8DyLPMpTf4ezBFWDCMYms28pJFF-RDXcKKlcFJyUK6rtfbq4gXg82mBauwr1ji6g8BT-oRHY5QqdWWQ7KK-j4fupiFXq9ueCCBucNZJe0yxDh7oujI/s320/16_90.png:
 Artinya :“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”
b)      Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba (كتب) Al-Baqarah (2) : 178 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita”.
c)       Perintah dengan menggunakan kata faradha (فرض/mewajibkan). Al-Ahzab : 50
Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCPcYxpIlQtM8ZvcgVLcGaZTyppinpD1wcDjd4IYdvThHg1Ll1-hOzgTJO9EGG9rg6VVqQT0rXKhCigiM7q5n21mgxpp8zxoWtYS69iPBMKyxqGbxZghqOggZQiI2jLaZNBJnSEE5rAjSh/s320/33_50.png
Artinya :  “Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitanbagimu”[2]
Adapun makna –makna lain dari shighoh amar antara lain sebagai berikut :
1.      Hukum Wajib
Artinya, lafadz amar itu menghendaki pihak yang disuruh wajib melaksanakan apa yang tersebut dalam lafadz itu. Seperti firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 77:
أقيموا الصلاة وأتوا الزكاة
Amar didalam ayat ini menimbulkan hukum wajib meskipun tanpa qorinah yang mengarahkannya untuk itu.
2.      Hukum nadb atau sunnah
Artinya hukum yang timbul dari amar itu adalah nadb, bukan wajib. An-Nur:33:
فكاتبوهم ان علمتم فيهم خيرا
Maka buatlah perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.
Lafadz katabah yaitu kemerdekaan dengan pembayaran cicilan, yang disuruh dalam ayat tersebut menimbulkan hukum nadb, sehingga bagi yang menganggap tidak perlu, maka tidak ada ancamannya apa-apa. Termasuk kedalam hukum nadb itu adalah ta’dib (pendidikan) seperti sabda Nabi kepada ibnu abbas dalam suatu kesempatan makan bersama, “makanlah apa yang ada disekitarmu”.
3.      Untuk suruhan bersifat mendidik. Umpamanya firman Allah dalam surat al baqoroh:282, tentang apa yang sebaiknya dilakukan seseorang setelah berlangsung hutang piutang:
واستشهدوا شهيدين
…..dan saksikanlah oleh dua orang saksi
Dalam ayat ini Allah SWT mendidik umat untuk mendatangkan dua saksi pada saat berlangsung transaksi hutang piutang untuk kemaslahatan mereka.
4.      Imtinan (امتنان) atau merangsang keinginan. Umpamanya firman Allah dalam surah al-An’am 142:
كلوا مما رزقكم الله
Makanlah apa-apa yang diberikan Allah kepadamu
Meskipun imtinan ini sama dengan ibahah dari segi tidak mengadung tuntutan, namun diantara keduanya ada perbedaan. Pada ibahah hanya semata izin untuk berbuat, sedangkan pada imtinan ada qorinah berupa kebutuhan kita kepadanya dan ketidak mampuan kita untuk mengerjakannya.
5.      Untuk ikrom atau memulyakan. Al-Hijr:46: ادخلوا بسلام امنين
Masuklah kalian semua dengan selamat dan aman
Amar dalam ayat ini juga tidak mengandung tuntutan apa-apa terhadap yang menerima amar.
6.      Untuk Takhsir, yang berarti menghinakan. Firman Allah al baqoroh :65:
كونوا قردة خاسئين
Jadilah kalian, kera yang hina.
7.      Ta’jiz, yang berarti menyatakan ketidak mampuan seseorang. Firman Allah dalam surat al-Baqoroh:23:
وان كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله
Jika kalian meragukan ada yang diturunkan kepada hamba kami maka datangkanlah satu surat yang menyamainya
8.      Untuk ihanah (الإهانة) artinya mengejek dalam sikap merendahkan.
Surat al-Dukhan:49:
ذق إنك أنت العزيز الكريم
Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.
Dalam ayat ini Allah SWT berkata kepada orang kafir yang masuk neraka. Tentu maksudnya bukan menyuruh berbuat seperti apa yang dikatakan, tetapi hanya sekedar mengejek orang kafir.
9.      Do’a. Contohnya, surat Ibrahim:41:
أللهم اغفرلي ولوالدي
10.  Tamanni (التمنى)
Yang berarti mengangankan suatu yang tidak akan terjadi.
ألا أيها الليل الطويل ألا انجلى بصبح وما الإصباح منك بأمثال
Wahai malam yang panjag, kenapa kau tidak segera berganti dengan subuh, sekalipun subuh itu tidak akan lebih baik darimu.
11.  Ihtiqar (الإحتقار) menganggap enteng yang disuruh. Surat al-Syu’ara:43:
القوا ما انتم ملقون
Jatuhkanlah apa yang hendak kamu jatuhkan
Dalam ayat ini Allah mengisahkan Nabi Musa menyuruh tukang sihir Fir’aun alat sihirnya yaitu tali lebih dahulu sebelum ia sendiri memulai. Jelas apa yang disuruh Nabi Musa itu merupakan ucapan yang menganggap enteng para ahli sihir itu, bukan dalam arti sebenarnya untuk menyuruh.
12.  Takhyir (التخيير) artinya memberi pilihan. Sabda Nabi:
إذا لم تستح فاصنع ما شئت
Bila kamu tidak malu, berbuatlah sekehendak hatimu.[3]
13.  Ibahah (perkenan) 
contoh :  كلو ا من الطيبات ( المؤمنو51)
Artinya : “Makanlah kalian dari makanan yang baik-baik“.( QS. Al- mu’minun : 51)
14.  Taswiyah (menyamakan)
Contoh :  فاصبروا أولا تصبرواسواء عليكم ( الطور : 16)
Artinya : baik kamu bersabar atau tidak bersaba , sama sja bagi kalian”.( QS. Ath-Thur :16)
15.  Tahdid (menakut-nakuti)
Contoh: اعملوا ما شئتم انه تعملون بصير (فصلت: 40 )
Artinya: “lakukan apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kalian lakukan. ( Qs. Fushilat : 40 )
16.  Takwin (mewujudkan dengan sekejap) atau menciptakan.
Contoh:  انما امره اذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون ( يس: 82)
Artinya: “Sesungguhnya, urusan Allah tatkala menghendaki suatu hanyalah berfirman kepadanya : “ jadilah” ! maka jadilah sesatu tersebut.” (Qs. Yasin : 82)[4]
 III.            Kaidah-kaidah amar
Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
a)      Kaidah pertama, الأصل قى الأمر للوجوب, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjkkan hukum wajib dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau dalil yang memalingkannya.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah ayat 77 surat an-Nisa: “اقيموا الصلاة واتواالزكاة
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan menunaikan zakat.
b)      Kaidah kedua, دلالة الأمر على التكرار أو الواحدة, adalah suatu perintah, haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?
Menurut jumhur ulama ushul fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu. Contohnya ayat 196 surat al-Baqarah:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّه.......
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah Karena Allah….
Perintah melakukan haji dalam ayat diatas sudah terpenuhi satu kali haji dalam seumur hidup.
Adanya kemestian pengulangan ditunjukkan oleh dalil lain. Al-Isra  78:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).
Menurut sebagian ulama Ushul Fiqh, seperti Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah seperti dinukil Muhammad Adib Saleh, suatu perintah pada dasarnya menunjukkan berulang kali dilakukan sepanjang hidup, kecuali ada dalil yang menunjukkan cukup dilaukan satu kali.
c)      Kaidah ketiga, دلالة الأمر على الفور أو التراخى, adalah suatu perintah, dilakukan sesegera mungkin atau bisa ditunda-tunda. Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama Ushul Fiqh. Menurut sebagian ulama, antara lain Abu Hasan al-Karkhi (w. 340 H) seperti dinukil Muhammad Adib Salih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera dilakukan. Barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu perintah di awal waktunya, maka ia berdosa.[5]
B.  NAHI
       I.            Pengertian Nahi
Pembicaraan ulama dalam pembahasan tentang amar yang menyangkut hakikat, sikap dalam mengucapkan, dan kedudukan yang memberikannya, berlaku pula dalam pembicaraan tentang “nahi”(larangan). Hal ini pun berpengaruh dalam merumuskan definisi “nahi”tersebut.
1)      Ulama’ yang mensyaratkan kedudukan yang lebih tinggi bagi yang menyuruh memberikan definisi sebagai berikut:
هو طلب الترك من الأعلى إلى الأدنى
Tuntutan untuk meninggalkan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah
2)      Ulama’ yang mensyaratkan adanya sikap meninggi waktu menympaikan nahi itu memberi definisi:
 هو اقتضاء كف على وجه الإستعلاء
Tuntutan untuk meninggalkan dengan sikap meninggi.
3)      Adapun definisi yang lebih lengkap ialah:
هو طلب الكف على وجه الإلزام بلفظ غير نحو كف
Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti tidak menggunakan “tinggalkanlah”, atau yang sejenisnya.
Kata tuntutan meninggalkan طلب الكف menunjukkan bahwa nahi ituadalah suruhan untuk meninggalkan suatu perbuatan atau suruhan untuk tidak berbuat apa-apa.[6]

    II.            Bentuk-bentuk nahi
      Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa, diantaranya adalah:
a)      Larangan tegas dengan memakai kata naha (نهى)  atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang, seperti suat An- Nahl Ayat : 90
Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUpokH-Nb3Qi1x6xTNTFN0zyW28zUgXrlKznUYx0aeuxpLFGY_F-tGcw3jPJQlJzBeJ9E77Svq-a97d7YyXiqlfe6WyjCEBinIIqWQY22AAHRdjKfKGe6VCKIkfAfSwgHd715cgt9Sqv75/s320/16_90.png

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”
b)      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Al-’Araf : 33Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhixSjxIeCIN8yaGX0no2NwSyKtyqq8aB8ooS1RT_K8zyiX3U3OBtIERw5AS8fXDQfWNsKAvmiZJ0-wkwgUrRzV3bQkzaTYes700u9f8Q9eH2JRKlhlr5tcWlCvCRtcP1_5CxRzwaRqJzO7/s320/7_33.png
Artinya:”Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
c)      Larangan dengan mengancam pelakunya dengan siksaan pedih. At-Taubah :34Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsg5RGDgt_j8Bz2wmpvVQs_MNrw0V0mQH48MPA_HTg9Rbct1NGCXoEwyoZJsfUhsf1vqvCAE3NjeJ-Ztzv36rrYT4MkwVlTwRDNKFL-ggDIvshzjZA56gnjAHOGD2yv_CBJp0w6RDNXUi2/s320/9_34.png
Artinya: “dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”[7]
 III.            Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi
Para ulama Ushul Fiqh merumuskan beberapa kaidah yang berkenaan dengan larangan, antara lain:
a.       Kaidah Pertama:
Menurut Jumhur Pada dasarnya kaidah itu menunjukan haram.
Seperti: ”Dan janganlah kamu mendekati zina{QS.al-isra / 17:32}
b.      Kaidah Kedua
larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya”.
Misalnya pada kalimat ”janganlah kamu mempersekutukan Allah” Larangan mempersekutukan Allah berarti perintah untuk mentauhidkan-Nya.
c.       Kaidah Ketiga
“pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu”
Jadi larangan yang tidak dikaitkan dengan suatu syarat atau sebab. Seperti waktu atau sebab-sebab lain.maka berarti diharuskan meninggalkan yang dilarang itu sepanjang masa.Namun bila larangan itu dikaitkan dengan waktu, maka perintah larangan itu berlaku selama ada sebab.
Misalnya pada kalimat” janganlah kamu shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk{ QS. An-nisa / 4;43}”
d.      Kaidah keempat
“pada dasarnya larangan itu bermakna fasad {rusak} secara mutlak”
Rasulullah saw bersabda ”setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”
Dengan demikian segala perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan, dan setiap yang tidak diprintahkan berarti tertolak, dan tertolak berarti batal. {tidak sah. Fasad}hukumnya.
[8]
 IV.            Penunjukkan atau Tuntutan Nahi
Nahi itu menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan kata yang didahului oleh kata larangan, yaitu: لا تفعل atau yang sewazan dengannya. Dalam A-Qur’an, nahi yang menggunakan kata larang itu mengandung beberapa maksud:
a.       Untuk hukum haram. Seperti firman Allah surat al-Isra’:33:
ولا تقتلوا النفس التي حرم الله
Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya).
b.      Makruh (كراهة). Sabda Nabi:
لا يمسن احدكم ذكره بيمينه وهو يبول
Diantara kamu sekalian jangan memegang kemaluannya dengan tangan kanan ketika buang air kecil.
c.       Untuk mendidik (إرشاد). Firman Allah surat al-Maidah: 101:
لا تسئلوا عن أشياء ان تبد لكم نسؤكم
Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu.
d.      Untuk do’a. Firman Allah Ali ‘Imran:8:
ربنا لا تزغ قلوبنا بعد اذ هديتنا
e.       Tahqir (تحقير) merendahkan. Firman Allah, surat al-Hijr: 88:
لا تمدن عينيك إلى ما متعنا به أزواجا منهم
Janganlah kamu sekali-kalikamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah kami berikan kepada beberapa golongan diantara mereka (orang-orang kafir).
f.       Untuk penjelasan akibat (بيان العاقبة). Surat Ibrahim:42:
ولا تحسبن الله غافلاعما يعمل الظالمون
Janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim.
g.      Keputus-asaan (اليأس). Firman Allah surat al-tahrim:7:
يا أيهاالذين امنوا لا تعتذروا اليوم
Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini.[9]




BAB III
PENUTUP
       I.            Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa amar adalah perintah untuk mengerjakan suatu pekerjaan dengan menggunakan shigat amar. Sedangkan nahi adalah perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan menggunakan shighat la taf’al atau yang sewazan dengannya.
Adapun bentuk-bentuk amar dan nahi ada bermacam-macam diantaranya dengan menggunakan kata amara, kutiba, faradha sebagaimana telah dijelaskan diatas. Sedangkan bentuk nahi adalah menggunakan kata “la taf’al” atau yang sejenis dengannya.
Adapun kaidah-kaidah yang berhubungan dengan amar dan nahi adalah sebagaimana dijelaskan diatas. Selain itu shighat-shigat amar dan nahi terkadang memiliki makna yang berbeda dari yang sebenarnya tergantung qarinah yang menyertainya.
Demikian makalah kecil ini kami susun, semoga memberikan manfaat bagi para penyusun, pembaca, dan pendengar. Amin.
    II.            Daftar pustaka
Syarifuddin, Amir, usul fiqh jilid 2, cet.4, (Jakarta, PRENADA MEDIA GROUP, 2008)
M.Kholil Afandi, Nailul Huda , Dari Teori Ushul Menuju Fiqih, Santri Salaf press, Januari 2013
http://hukum.kompasiana.com/2012/07/03/ushul-fiqh-amr-dan-nahi-474285.html. Di akses pada hari sabtu tanggal 22 juni 2013. Pukul 09.30 WIB
http://bayanzhou.blogspot.com/2011/02/amr-nahi-takhyir-am-dan-khos.html, di akses pada hari sabtu tanggal 22 juni 2013, pukul 09.30 WIB


[1]Amir Syarifuddin, usul fiqh jilid 2, cet.4, (Jakarta, PRENADA MEDIA GROUP, 2008), HAL. 163-164
[2]http://hukum.kompasiana.com/2012/07/03/ushul-fiqh-amr-dan-nahi-474285.html. Di akses pada hari sabtu tanggal 22 juni 2013. Pukul 09.30 WIB
[3] Amir Syarifuddin, usul fiqh jilid 2, cet.4, (Jakarta, PRENADA MEDIA GROUP, 2008), hal. 166-171
[4]M.Kholil Afandi, Nailul Huda , Dari Teori Ushul Menuju Fiqih, Santri Salaf press, Januari 2013
[6] Amir Syarifuddin, usul fiqh jilid 2, cet.4, (Jakarta, PRENADA MEDIA GROUP, 2008), hal. 195
[7] http://bayanzhou.blogspot.com/2011/02/amr-nahi-takhyir-am-dan-khos.html, di akses pada hari sabtu tanggal 22 juni 2013, pukul 09.30 WIB

[8] http://hukum.kompasiana.com/2012/07/03/ushul-fiqh-amr-dan-nahi-474285.html
[9] Amir Syarifuddin, usul fiqh jilid 2, cet.4, (Jakarta, PRENADA MEDIA GROUP, 2008), hal. 196-197

Comments

Popular posts from this blog