Oleh: Ahmat Ainul Chadliq, S.Pd*
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
I |
roni memang jika ada seorang pelajar atau siswa berani
melawan gurunya, bahkan tega sampai membunuhnya. Akhir-akhir ini kita sering
diperlihatkan berita-berita tentang siswa menganiaya guru, siswa mengerjai
guru, bahkan ada siswa yang tega dan berani menusuk gurunya dengan menggunakan
senjata tajam. Padahal siswa tersebut berada dalam lingkungan Pendidikan,
lingkungan pembelajaran, namun akhlaq yang ditampilkan tidak mencerminkan
seorang siswa yang terdidik. Salah siapakah kejadian tersebut? Siapa yang bertanggung
jawab?
Kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa, jika
sudah seperti ini, ini menjadi tanggung jawab bersama, menjadi PR bersama,
tidak hanya guru di kelas, ataupun Lembaga Pendidikan, tetapi semua unsur baik
dari keluarga, pemerintah dan ataupun yang lainnya, memiliki tanggung jawab
yang sama untuk membenahi pendidikan. Sebagaimana sekolah yang menjadi ujung
tombak perbaikan akhlaq & kualitas SDM manusia, tetapi sampai saat ini
masih belum maksimal dalam menempa siswa agar memiliki akhlaqul karimah (budi
pekerti yang luhur).
Tak ayal kita sebagai pelaku pendidik dalam
sekolah terkadang juga merasa resah dengan kondisi saat ini, dengan adanya
siswa yang tidak atau kurang patuh terhadap guru, tidak hormat & ta’dhim,
berani melawan guru, mengejek guru, mengerjai guru dan lain sebagainya. Sebagai
pendidik apa yang seharusnya kita benahi? Sistemnya? Kurikulumnya? Atau yang
lainnya!
Dalam kesempatan ini penulis akan
menjelaskan sedikit makalah tentang tawadhu’ (rendah hati) sebagai bagian dasar
akhlaqul karimah akhlaq qur’ani siswa dalam menuntut ilmu dan bermasyarakat /
bersosial.
Kita sering mendengar sebuah hadist yang
dibaca saat ada pengajian atau ceramah-ceramah tentang akhlaqul karimah atau
karakter, seperti hadist yang berbunyi “innama bu’itstu liutammima makarimal
akhlaq” yang artinya bahwa sesungguhnya aku (nabi Muhammad) diutus hanya
untuk menyempurnakan akhlaq. Visi besar Nabi Muhammad SAW adalah memperbaiki
& menyempurnakan akhlaq manusia, dari akhlaq yang buruk (madzmumah) kepada
akhlaq terpuji (mahmudah). Selain itu, Nabi juga memiliki tugas utama
yaitu Nabi pernah bersabda: “innama bu’itstu mu’alliman” yang artinya adalah
bahwa sesungguhnya aku (Nabi Muhammad) diutus hanya sebagai pengajar”.
Disini ada beberapa hal penting yang perlu
kita garis bawahi, yang menjadi dasar pokok pembahasan kita kali ini, yaitu
pribadi Nabi SAW sebagai pembawa risalah ilahiyyah, memiliki tugas utama
menyempurnakan akhlaq (mengajarkan akhlaq mulia kepada seluruh umat manusia)
supaya menjadi insan kamil (manusia sempurna/seutuhnya) dan juga nabi
sebagai pribadi pengajar (mu’allim).
Definisi Tawadhu’
Secara etimologi, kata tawadhu berasal dari
kata وضّع yang berarti merendahkan meletakkan, serta juga berasal dari
kata اتّضع dengan arti merendahkan
diri. Disamping itu, kata tawadhu juga diartikan dengan rendah terhadap
sesuatu. Sedangkan secara istilah, tawadhu adalah menampakan kerendahan hati
kepada sesuatu yang diagungkan.
Menurut Imam Al Ghozali dalam Ihya Ulumudin
jilid III, menyebutkan bahwa tawadhu adalah mengeluarkan kedudukan kita dan
menganggap orang lain lebih utama daripada kita.
Secara harfiah, pengertian tawadhu adalah
rendah hati, tanpa merasa hina dan rendah diri. Orang yang tawadhu adalah orang
yang tidak memandang dirinya lebih dari orang lain, meskipun dia memiliki
kelebihan dibanding orang lain. Rendah hati tentu sangat berbeda dengan rendah
diri atau minder. Sebab itu, umat Muslim juga tidak boleh terlalu tawadhu,
karena hal ini bisa membuat orang lain menjadi sombong terhadapnya. Tawadhu
yang berlebihan bisa membuat seseorang terjebak menjadi rendah diri, Islam
memerintahkan berendah hati tapi melarang kita berendah diri.
Sikap tawadhu’ sangat
penting artinya dalam pergaulan sesama manusia, sikap tawadhu’ disukai dalam
pergaulan sehingga menimbulkan rasa simpati dari pihak lain. Berbicara lebih
jauh tentang tawadhu’,
sebenarnya tawadhu’ sangat
diperlukan bagi siapa saja yang ingin menjaga amal shaleh atau amal
kebaikannya, agar tetap tulus ikhlas, murni dari tujuan selain Allah.
Contoh-Contoh Sikap Tawadhu’
Tanda orang yang tawadhu’ adalah
di saat seseorang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula
sikap tawadhu’ dan
kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa
takut dan waspadanya kepada Allah. Setiap kali bertambah usianya maka semakin
berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka
bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali
bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan
manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap
rendah hati kepada mereka. Ini karena orang yang tawadhu’ menyadari akan segala
nikmat yang didapatnya adalah dari Allah SWT, untuk mengujinya apakah ia bersyukur
atau kufur.
Berikut
beberapa contoh ketawadhu’an Rasulullah Saw.:
1. Sahabat Anas R.A jika
bertemu dengan anak-anak kecil maka selalu mengucapkan salam pada mereka,
ketika ditanya mengapa ia lakukan hal tersebut ia menjawab: Aku melihat
kekasihku Nabi SAW. senantiasa berbuat demikian. (HR. Bukhari, Fathul Bari’-
6247).
Nabi selalu menyayangi anak kecil atau orang
yang lebih muda darinya, sebagai pendidik kita harus memiliki nilai ini, sayang
kepada anak kecil.
2. Dari Anas R.A berkata: Nabi Saw. memiliki
seekor unta yang diberi nama al-’adhba` yang tidak terkalahkan larinya,
maka datang seorang ‘a’rabiy dengan untanya dan mampu mengalahkan, maka
hati kaum muslimin terpukul menyaksikan hal tersebut sampai hal itu diketahui
oleh Nabi SAW, maka beliau bersabda: Menjadi hak Allah jika ada sesuatu yang
meninggikan diri di dunia pasti akan direndahkan-Nya. (HR. Bukhari). (Fathul
Bari’-2872).
3. Abu Said al-Khudarii R.A pernah berkata:
Jadilah kalian seperti Nabi SAW, beliau menjahit bajunya yang sobek, memberi
makan sendiri untanya, memperbaiki rumahnya, memerah susu kambingnya, membuat
sandalnya, makan bersama-sama dengan pembantu-pembantunya, memberi mereka
pakaian, membeli sendiri keperluannya di pasar dan memikulnya sendiri ke
rumahnya, beliau menemui orang kaya maupun miskin, orang tua maupun anak-anak,
mengucapkan salam lebih dulu pada siapa yang berpapasan baik tua maupun anak,
kulit hitam, merah, maupun putih, orang merdeka maupun hamba sahaya sepanjang
termasuk orang yang suka shalat.
Sungguh
indah dan mulia sikap tawadhu’ yang dicontohkan Nabi, sehingga tidak ada orang
yang saling benci dan maki, dapat menciptakan masyarakat yang harmoni. Jiwa
nabi sebagai penyempurna akhlaq dan pendidik mencontohkan untuk selalu memiliki
akhlaq mulia khususnya tawadhu’.
Sikap tawadhu’ seseorang
dapat dilihat dari perilakunya sehari-hari. Adapun bentuk-bentuk perilaku tawadhu’ seseorang
antara lain:
1. Menghormati orang yang lebih tua atau orang
yang lebih pandai daripada dirinya
2. Sayang kepada yang lebih muda atau lebih
rendah kedudukannya
3. Menghargai pendapat atau pembicaraan orang
lain
4. Bersedia mengalah demi kepentingan umum
5. Santun dalam berbicara kepada siapapun
6. Tidak suka disanjung orang lain atau keberhasilan
yang dicapai
Kesimpulan
dan Penutup
No comments:
Post a Comment